Banyaknya perubahan dan perkembangan dalam dunia pendidikan telah
mengajak kita untuk juga berpikir mengenai kelemahan, kekurangan, peluang,
tantangan dan potensi dari suatu pendidikan, serta adanya gesekan dalam tradisi
yang berkembang dalam konstek sosial masyarakat. Paradigma pendidikan modern
dan tradisional terkesan ada jurang pemisah yang cukup jauh, sebab adanya
nilai-nilai yang sangat berbeda dalam bentuk fondasi yang telah dibangun, namun
pada hakekatnya pendidikan tradisional dan modern memiliki keterkaitan yang cukup
erat dalam konstek dinamika pendidikan itu sendiri.
Paradigma
Pendidikan Tradisional
Dalam
konstek saat ini pendidikan tradisional sering kali menjadi pembahasan yang
serius, mengingat tergerusnya budaya ketimuran yang dipengaruhi oleh budaya
barat, dengan indikator pesatnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebagai bentuk
persaingan global terutama dalam perkembangan dunia pendidikan.
Pendidikan
tradisional masih sangat dianggap kolot, konvensional dan tidak mengikuti
perkembangan zaman, tetapi pada sisi yang lain pendidikan tradisional pada
kenyataanya memiliki akar yang kuat yang ikut serta membangun peradaban
manusia. Salah satu contohnya mengenai pendidikan pesantren yang bergelut
dengan mata pelajaran kitab dan proses pembelajaran yang diletakkan dimusholla
ataupun di masjid-masjid.
Mengacu
pada hal tersebut Gus Dur, panggilan akrab dari K.H. Abdurrahman Wahid masih
memegang prinsip yang mengacu pada koidah fiqih yang berbunyi “al
muhafadhatu alal qodimissholih wal ahdu biljadidil aslih” yang artinya : “memelihara
dan melestarikan nilai lama yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai baru
yang lebih relevan”.[1]
Konsepsi
dari pendidikan tradisional, bukan lantas tidak mengikuti perkembangan zaman,
akan tetapi lebih jauh dari itu, bahwasanya pendidikan tradisional masih cukup
kuat memelihara dan melestarikan nilai lama yang cukup relevan dengan kondisi
saat ini, sehingga pendidikan tradisional itu sendiri dalam konstek sosial
budaya, masih memiliki nilai yang berakar kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Sementara
pendidikan yang berkembang dalam teradisi pesantren salafiyah, dengan kurikulum
pengajian kitab-kitab, merupakan tradisi yang bersifat sentralistik. Kyai dalam
dunia pendidikan pesantren merupakan ujung tombak dari seluruh aktifitas yang
telah membentuk sistem yang bergerak secara turun temurun. Disinilah kajian
mengenai pendidikan pesantren yang bercorak pada satu arah, sehingga dalam
konstek perkembangan sains dan tekhnologi, bisa dikatakan tertinggal, walaupun
tidak bisa kita pungkiri pendidikan pesantren menjadi pusat pembelajaran yang
continuitas dalam membentuk peserta didiknya.
Pendidikan
tradisional dengan konsep mendengarkan dan mengikuti yang kemudian di ikuti
dengan kepatuhan yang cukup tinggi, disinyalir hanya akan menumpulkan
nilai-nilai kritisisme oleh peserta didik, sehingga pertumbuhan dan
perkembangannya menjadi lambat.
Pendidikan
dalam pesanatren memberikan kesan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang
sulit dielakkan. Namun perlu ada penjelasan mengenai pendidikan dalam dunia
pesantren. Tidak bisa kita pungkiri memang ada pesantren yang dikhususkan
pendidikannya untuk mencapai spesialisasi bidang keagamaan. Misalnya,
spesialisasi ilmu hadist dan tafsir, atau spesialisasi ilmu bahasa arab.
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan dalam pesantren yang bercorak
tradisional juga telah merambah pada pendidikan keusahawanan, yakni melatih
peserta didik untuk bekerja keras, namun pendidikan tersebut tidak terkordinir
dengan baik yang konsekuensinya usahawan-usahawan tersebut bergerak
sendiri-sendiri, yang pada akhirnya mereka akan menjadi usahawan-usahawan otodidak,
yang tidak mendekati masalahnya dari segi ilmiah, tetapi berdasarkan instuisi.[2]
Prinsip
dasar dari pendidikan pesantren, tidak
terlepas dari kitab-kitab klasik atau literatur universal pesantren yang
merupakan latar belakang kultural sistem nilai yang dikembangkan pesantren.
Untuk mempelajarinya para santri memiliki keyakinan bahwa bimbingan seorang
kiai merupakan syarat utama untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan baik dan
benar. Para santri sangat taat pada kiainya, baik yang berbentuk perintah
maupun sikap dan perilaku kiai senantiasa dijadikan sebagai pedoman dalam
keseharian mereka. Dalam hal kepemimpinan seorang kiai memiliki peran ganda
yakni, satu sisi sebagai pelestari budaya Islam dan disisi yang lain sebagai
penjaga ilmu-ilmu agama.[3]
Disinilah
kemudian yang membentuk sentralisasi pendidikan pesantren yang telah tertanam
dalam pesantren ratusan tahun silam, sehingga para kiai sebagai pucuk pimpinan
dalam sebuah pesantren tetap melestarikan tradisi yang telah dikembangkan sejak
terdahulu. Paradigma pendidikan pesantren telah memberikan warna tersendiri
dalam proses perubahan dan perkembangan suatu kultur dalam masyarakat.
Paradigma
dari suatu pendidikan tradisional, tidak bisa dielakkan masih bersifat
sentralistik yang memungkinkan bagi peserta didik untuk berpikir kritis menjadi
terhambat, sebab kekuatan doktrinal yang cukup kuat mempengaruhi pola berpikir
dari peserta didik itu sendiri.
Paradigma
Pendidikan Modern
Pesatnya
perkembangan pengetahuan dan tekhnologi dewasa ini, memberikan dampak yang
signifikan dalam suatu perubahan, baik perubahan terhadap pola berpikir maupun
dalam bentuk tindakan.
Perubahan
itu sendiri tidak lepas dari bentuk pemikiran dan perbuatan manusia, apakah
bentuk tersebut mengarah pada sesuatu yang positif ataupun mengarah pada
sesuatu yang negatif. Salah satu sumber dari suatu perubahan, salah satunya
pentingnya peran dari suatu pendidikan yang telah memberikan ruang yang
seluas-luasnya bagi peserta didik untuk menggali dan mengembangkan seluruh
potensi yang dimiliki.
Pendidikan
modern merupakan bentuk perkembangan dari situasi yang menjadi tuntutan dalam
kompetisi global, dimana berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi secara
drastis telah membuka kesadaran pemerintah, pendidik, dan masyarakat untuk
bersama-sama membaca perubahan dan perkembangan zaman.
Mudahnya
akses tekhnologi informasi telah memberikan pengaruh yang luar biasa dalam
sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tekhnologi informasi merupakan salah satu
bentuk dalam kerangka menghadapi arus budaya global, sehingga pendidikan
diharapkan mampu mengontrol dan memfilter arus westernisasi yang semakin
merambah kedalam dunia pendidikan itu sendiri.
Modernisasi
sebagai sebuah gagasan pendidikan ingin memberikan kesetaraan dan pengakuan
akan ragam budaya yang memiliki sejarah panjang. Parktek mengenai berjalannya
pendidikan modern diberbagai negara, baik di barat maupun di timur telah
menghasilkan kesepakatan bersama (mutual agrement) bahwa salah satu
pilar pendidikan adalah “living together” yakni memberikan latihan dan
keterampilan kepada para siswa akan pentingnya pengakuan dan penghargaan kepada
orang yang memiliki ragam bahasa, budaya, etnis, maupun agama.[4]
Paradigma
pendidikan modern telah menjadi suatu acuan dalam perkembangan pendidikan, khususnya
di negeri ini. Modernitas adalah bentuk akan perubahan dan pergeseran budaya
dalam kehidupan suatu masyarakat, begitu pula dalam konstek dunia pendidikan,
modernitas menjadi langkah yang strategis guna memudahkan proses tranformasi
ilmu pengetahuan terhadap peserta didik. Oleh karenanya perkembangan tekhnologi
sangat memudahkan bagi proses belajar mengajar, disamping itu pula sebagai alat
untuk membantu para siswa menggali dan mengembangkan seluruh potensinya.
Ada
perbedaan yang cukup mendasar antara pendidikan di era tradisional dan
pendidikan di era modern, dimana keduanya memiliki kelemahan dan kekurangannya
masing-masing. Pendidikan tradisional yang masih menggunakan sistem belajar
mengajar yang konvensional, justru memakan waktu yang cukup lama, sehingga
dalam proses belajar mengajar, peserta didik dituntut untuk mencatat tulisan
seorang guru di papan, hingga berlembar-lembar. Model pembelajaran klasik ini
menjadi kurang efektif dalam konstek saat ini, karena pendidikan di era modern,
peran serta tekhnologi sangat memudahkan dalam proses belajar mengajar. Dengan
adanya proyektor misalnya sebagai alat pembelajaran terhadap peserta didik,
sehingga guru hanya memberikan pemahaman dan pengertiannya melalui proyektor
tersebut. Pertanyaannya, apakah pendidikan di era tradisional lebih jelek dari
pendidikan di era modern, dan atau pendidikan di era modern jauh lebih baik?
Keduanya memiliki sisi kekurangan dan kelemahan, namun perlu disadari bahwa dua
aspek yang berbeda menunjukkan keragaman, sebagai manifestasi dari ideologi
bhineka tuggal ika.
Pada
era modern ini pemerintah telah mengeluarkan kurikulum baru sebagai penyempurna
dari kurikulum sebelumnya, kurikulum baru dalam dunia pendidikan di Indonesia,
yakni kurikulum tahun 2013. Kurikulum tahun 2013 adalah sebuah kurikulum yang
mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan karakter. Siswa dituntut untuk
paham terhadap materi, aktif dalam diskusi dan presentasi, serta memilki sopan
santun, disiplin tinggi. Kurikulum ini menggantikan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP) yang diterapkan sejak tahun 2006. Kurikulum ini lebih
menekankan pada soft skill, dimana siswa bisa dilihat dari aspek sikap dan attitudnya di sekolah.[5]
Dengan
kurikulum 2013 diharapkan mampu memberikan perubahan terhadap peserta didik
untuk menjadi lebih baik. Dengan penerapan kurikulum 2013 sebuah sekolah
nasional di Indonesia dengan standar mutu internasional. Proses belajar
mengajar disekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan
eksprimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada. Pengembangan
Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI ) di Indonesia didasari oleh undang-undang
No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 dalam ketentuan ini pemerintah didorong untuk
mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Standar internasional
yang dituntut oleh SBI adalah standar kompetensi lulusan , SDM, Fasilitas,
manajemen, pembiayaan dan penilaian standar internasional.[6]
Konsepsi
dari kurikulum 2013 hakekatnya diadaptasikan dengan tantangan zaman yang
berkembang saat ini, karena dengan kurikulum tersebut diharapkan mampu mengantarkan
para peserta didik untuk memiliki kecerdasan yang berimbang, yakni cerdas
secara intelektual, emosional dan spritual, walaupun tidak bisa kita pungkiri
merebaknya kekerasan dalam dunia pendidikan dari berbagai aspek, menjadikan
kita semakin prihatin mengenai nasib pendidikan kita kedepan.
Dengan
demikian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diterapkan pada tahun
2006, dan penyempurnaan kurikulum yan disebut dengan kurikulum 2013, dua-duanya
memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, namun pada esensinya bahwa dua
kurikulum tersebut mengacu pada paradigma pendidikan di era modern, dengan
konsep pembelajaran aktif.
Bertemunya
Dua Sisi Yang Berbeda
Pendidikan
di era tradisional dan pendidikan di era modern, sesungguhnya ini merupakan rentetan
dari peristiwa sebelumnya. Lahirnya pendidikan di era modern, hakekatnya tidak
terlepas dari proses dan perkembangan dari pendidikan diera tradisional. Maka
kemudian perlunya kita perhatikan secara seksama, mengenai peluang, tantangan,
konsep, kelemahan dan kekurangan, harusnya tetap menjadi tanggung jawab para
pihak.
Konsepsi
pendidikan di era tradisional dan pendidikan di era modern, yang memiliki sisi
yang sangat berbeda, sehingga terkesan bahwa kedua konsep pendidikan tersebut
ada jurang pemisah yang menjadikannya sangat berseberangan.
Secara
sederhana perbedaan antara pendidikan tradisional dan pendidikan modern,
misalnya dalam proses belajar mengajar.
Pendidikan
tradisional :
Ø Guru mengajar, murid menyimak
Ø One man show dimana guru menjadi satu-satunya pelaku pendidikan
Ø Tatanan bangku yang berurutan
Ø Masih diberlakukan bentuk hukuman fisik bagi siswa yagn tidak taat.
Pendidikan
modern
Ø
Guru sebagai
fasilitator
Ø
Peserta didik
juga pelaku pendidikan
Ø
Memanfaatkan
media pembelajaran
Ø
Tidak melakukan
hukuman fisik
Ø
Tempat
pembelajaran bisa dimana saja[7]
Melihat
perbedaan yang cukup jauh, konsep dari pendidikan tradisional dan modern, juga
sangat berpengaruh terhadap output yang dihasilkan pada akhirnya. Pendidikan
tradisional lebih menekankan pada nilai-nilai moral dan tatanan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, sehingga lulusan yang dihasilkan lebih mapan dan
diterima ditengah-tengah masyarakat. Sementara dalam konstek modernitas,
pendidikan cukup memprihatinkan, dimana ketidak seimbangan dalam menerima
pengetahuan dan tekhnologi menyebabkan sering terjadinya tawuran antar pelajar,
kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum dalam pendidikan itu sendiri,
sampai pada bejatnya moral seorang guru.
Dengan
demikian, meski satu sisi pendidikan modern dan pendidikan tradisional memiliki
konsepsi yang cukup jauh, akan tetapi perlu adanya keseimbangan satu sama lain,
pendidikan modern dengan pesatnya pengetahuan dan canggihnya tekhnologi yang
memudahkan bagi peserta didik untuk mengaksesnya, menjadikan lemahnya kontrol
dalam dunia pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu pendidikan modern ini, harus
tetap didampingi dengan konsep pendidikan tradisional yang menekankan pada
sikap dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral terhadap peserta didik, sehingga
out put yang dihasilkan dari dua konsep tersebut menjadikan peserta didik
memiliki kematangan intelektual, sikap, tindakan, dan yang terpenting bisa di
terima ditengah-tengah masyarakat untuk terus melakukan perbaikan dalam segala
aspek.
Sumber Rujukan
Abdur Rahman Wahid, Prisma
Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LkiS, 2010
Akviansyah,
http//songeph.blogspot.com, diakses pada 19 Januari 2015
Anam wong,
http//godongkelor.blogspot.com, diakses pada 20 januari 2015
Faisol, Gus Dur dan pendidikan Islam, upaya mengembalikan esensi
pendidikan di era global, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2011
Febri Dimas, http//kompasiana.com, diakses pada 19 januari 2015
Samsun Niam, Pendidikan Multi Kultur, Radar Jember, kamis 28
oktober 2010
www.pesantren-ciganjur.org, Prinsip-Prinsip pendidikan pesantren, di
aksen pada 18 Januari 2015
[1]
Faisol, Gus Dur dan pendidikan Islam, upaya mengembalikan esensi pendidikan
di era global, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2011, hal. 27
[2] Abdur Rahman
Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LkiS, 2010, Hal. 115-116
[4] Samsun Niam, Pendidikan
Multi Kultur, Radar Jember, kamis 28 oktober 2010, hal 39
[5] Febri Dimas,
http//kompasiana.com, diakses pada 19 januari 2015
[6]
Akviansyah, http//songeph.blogspot.com, diakses pada 19 Januari 2015
[7]
Anam wong, http//godongkelor.blogspot.com, diakses pada 20 januari 2015