Home

Wednesday, August 5, 2015

Paradigma Pendidikan Tradisional dan Modern ( Study Komparatif Dalam Dunia Pendidikan )




Banyaknya perubahan dan perkembangan dalam dunia pendidikan telah mengajak kita untuk juga berpikir mengenai kelemahan, kekurangan, peluang, tantangan dan potensi dari suatu pendidikan, serta adanya gesekan dalam tradisi yang berkembang dalam konstek sosial masyarakat. Paradigma pendidikan modern dan tradisional terkesan ada jurang pemisah yang cukup jauh, sebab adanya nilai-nilai yang sangat berbeda dalam bentuk fondasi yang telah dibangun, namun pada hakekatnya pendidikan tradisional dan modern memiliki keterkaitan yang cukup erat dalam konstek dinamika pendidikan itu sendiri.
Paradigma Pendidikan Tradisional

Dalam konstek saat ini pendidikan tradisional sering kali menjadi pembahasan yang serius, mengingat tergerusnya budaya ketimuran yang dipengaruhi oleh budaya barat, dengan indikator pesatnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebagai bentuk persaingan global terutama dalam perkembangan dunia pendidikan. 

Pendidikan tradisional masih sangat dianggap kolot, konvensional dan tidak mengikuti perkembangan zaman, tetapi pada sisi yang lain pendidikan tradisional pada kenyataanya memiliki akar yang kuat yang ikut serta membangun peradaban manusia. Salah satu contohnya mengenai pendidikan pesantren yang bergelut dengan mata pelajaran kitab dan proses pembelajaran yang diletakkan dimusholla ataupun di masjid-masjid.

Mengacu pada hal tersebut Gus Dur, panggilan akrab dari K.H. Abdurrahman Wahid masih memegang prinsip yang mengacu pada koidah fiqih yang berbunyi “al muhafadhatu alal qodimissholih wal ahdu biljadidil aslih” yang artinya : “memelihara dan melestarikan nilai lama yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih relevan”.[1]

Konsepsi dari pendidikan tradisional, bukan lantas tidak mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi lebih jauh dari itu, bahwasanya pendidikan tradisional masih cukup kuat memelihara dan melestarikan nilai lama yang cukup relevan dengan kondisi saat ini, sehingga pendidikan tradisional itu sendiri dalam konstek sosial budaya, masih memiliki nilai yang berakar kuat dalam kehidupan bermasyarakat.

Sementara pendidikan yang berkembang dalam teradisi pesantren salafiyah, dengan kurikulum pengajian kitab-kitab, merupakan tradisi yang bersifat sentralistik. Kyai dalam dunia pendidikan pesantren merupakan ujung tombak dari seluruh aktifitas yang telah membentuk sistem yang bergerak secara turun temurun. Disinilah kajian mengenai pendidikan pesantren yang bercorak pada satu arah, sehingga dalam konstek perkembangan sains dan tekhnologi, bisa dikatakan tertinggal, walaupun tidak bisa kita pungkiri pendidikan pesantren menjadi pusat pembelajaran yang continuitas dalam membentuk peserta didiknya.

Pendidikan tradisional dengan konsep mendengarkan dan mengikuti yang kemudian di ikuti dengan kepatuhan yang cukup tinggi, disinyalir hanya akan menumpulkan nilai-nilai kritisisme oleh peserta didik, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya menjadi lambat.

Pendidikan dalam pesanatren memberikan kesan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang sulit dielakkan. Namun perlu ada penjelasan mengenai pendidikan dalam dunia pesantren. Tidak bisa kita pungkiri memang ada pesantren yang dikhususkan pendidikannya untuk mencapai spesialisasi bidang keagamaan. Misalnya, spesialisasi ilmu hadist dan tafsir, atau spesialisasi ilmu bahasa arab. Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan dalam pesantren yang bercorak tradisional juga telah merambah pada pendidikan keusahawanan, yakni melatih peserta didik untuk bekerja keras, namun pendidikan tersebut tidak terkordinir dengan baik yang konsekuensinya usahawan-usahawan tersebut bergerak sendiri-sendiri, yang pada akhirnya mereka akan menjadi usahawan-usahawan otodidak, yang tidak mendekati masalahnya dari segi ilmiah, tetapi berdasarkan instuisi.[2]

Prinsip dasar dari pendidikan pesantren,  tidak terlepas dari kitab-kitab klasik atau literatur universal pesantren yang merupakan latar belakang kultural sistem nilai yang dikembangkan pesantren. Untuk mempelajarinya para santri memiliki keyakinan bahwa bimbingan seorang kiai merupakan syarat utama untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan baik dan benar. Para santri sangat taat pada kiainya, baik yang berbentuk perintah maupun sikap dan perilaku kiai senantiasa dijadikan sebagai pedoman dalam keseharian mereka. Dalam hal kepemimpinan seorang kiai memiliki peran ganda yakni, satu sisi sebagai pelestari budaya Islam dan disisi yang lain sebagai penjaga ilmu-ilmu agama.[3]

Disinilah kemudian yang membentuk sentralisasi pendidikan pesantren yang telah tertanam dalam pesantren ratusan tahun silam, sehingga para kiai sebagai pucuk pimpinan dalam sebuah pesantren tetap melestarikan tradisi yang telah dikembangkan sejak terdahulu. Paradigma pendidikan pesantren telah memberikan warna tersendiri dalam proses perubahan dan perkembangan suatu kultur dalam masyarakat. 

Paradigma dari suatu pendidikan tradisional, tidak bisa dielakkan masih bersifat sentralistik yang memungkinkan bagi peserta didik untuk berpikir kritis menjadi terhambat, sebab kekuatan doktrinal yang cukup kuat mempengaruhi pola berpikir dari peserta didik itu sendiri.

Paradigma Pendidikan Modern

Pesatnya perkembangan pengetahuan dan tekhnologi dewasa ini, memberikan dampak yang signifikan dalam suatu perubahan, baik perubahan terhadap pola berpikir maupun dalam bentuk tindakan. 

Perubahan itu sendiri tidak lepas dari bentuk pemikiran dan perbuatan manusia, apakah bentuk tersebut mengarah pada sesuatu yang positif ataupun mengarah pada sesuatu yang negatif. Salah satu sumber dari suatu perubahan, salah satunya pentingnya peran dari suatu pendidikan yang telah memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki.

Pendidikan modern merupakan bentuk perkembangan dari situasi yang menjadi tuntutan dalam kompetisi global, dimana berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi secara drastis telah membuka kesadaran pemerintah, pendidik, dan masyarakat untuk bersama-sama membaca perubahan dan perkembangan zaman.


Mudahnya akses tekhnologi informasi telah memberikan pengaruh yang luar biasa dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tekhnologi informasi merupakan salah satu bentuk dalam kerangka menghadapi arus budaya global, sehingga pendidikan diharapkan mampu mengontrol dan memfilter arus westernisasi yang semakin merambah kedalam dunia pendidikan itu sendiri.

Modernisasi sebagai sebuah gagasan pendidikan ingin memberikan kesetaraan dan pengakuan akan ragam budaya yang memiliki sejarah panjang. Parktek mengenai berjalannya pendidikan modern diberbagai negara, baik di barat maupun di timur telah menghasilkan kesepakatan bersama (mutual agrement) bahwa salah satu pilar pendidikan adalah “living together” yakni memberikan latihan dan keterampilan kepada para siswa akan pentingnya pengakuan dan penghargaan kepada orang yang memiliki ragam bahasa, budaya, etnis, maupun agama.[4]

Paradigma pendidikan modern telah menjadi suatu acuan dalam perkembangan pendidikan, khususnya di negeri ini. Modernitas adalah bentuk akan perubahan dan pergeseran budaya dalam kehidupan suatu masyarakat, begitu pula dalam konstek dunia pendidikan, modernitas menjadi langkah yang strategis guna memudahkan proses tranformasi ilmu pengetahuan terhadap peserta didik. Oleh karenanya perkembangan tekhnologi sangat memudahkan bagi proses belajar mengajar, disamping itu pula sebagai alat untuk membantu para siswa menggali dan mengembangkan seluruh potensinya.

Ada perbedaan yang cukup mendasar antara pendidikan di era tradisional dan pendidikan di era modern, dimana keduanya memiliki kelemahan dan kekurangannya masing-masing. Pendidikan tradisional yang masih menggunakan sistem belajar mengajar yang konvensional, justru memakan waktu yang cukup lama, sehingga dalam proses belajar mengajar, peserta didik dituntut untuk mencatat tulisan seorang guru di papan, hingga berlembar-lembar. Model pembelajaran klasik ini menjadi kurang efektif dalam konstek saat ini, karena pendidikan di era modern, peran serta tekhnologi sangat memudahkan dalam proses belajar mengajar. Dengan adanya proyektor misalnya sebagai alat pembelajaran terhadap peserta didik, sehingga guru hanya memberikan pemahaman dan pengertiannya melalui proyektor tersebut. Pertanyaannya, apakah pendidikan di era tradisional lebih jelek dari pendidikan di era modern, dan atau pendidikan di era modern jauh lebih baik? Keduanya memiliki sisi kekurangan dan kelemahan, namun perlu disadari bahwa dua aspek yang berbeda menunjukkan keragaman, sebagai manifestasi dari ideologi bhineka tuggal ika.

Pada era modern ini pemerintah telah mengeluarkan kurikulum baru sebagai penyempurna dari kurikulum sebelumnya, kurikulum baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni kurikulum tahun 2013. Kurikulum tahun 2013 adalah sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan karakter. Siswa dituntut untuk paham terhadap materi, aktif dalam diskusi dan presentasi, serta memilki sopan santun, disiplin tinggi. Kurikulum ini menggantikan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diterapkan sejak tahun 2006. Kurikulum ini lebih menekankan pada soft skill, dimana siswa bisa dilihat dari aspek sikap  dan attitudnya di sekolah.[5]  

Dengan kurikulum 2013 diharapkan mampu memberikan perubahan terhadap peserta didik untuk menjadi lebih baik. Dengan penerapan kurikulum 2013 sebuah sekolah nasional di Indonesia dengan standar mutu internasional. Proses belajar mengajar disekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan eksprimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada. Pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI ) di Indonesia didasari oleh undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 dalam ketentuan ini pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Standar internasional yang dituntut oleh SBI adalah standar kompetensi lulusan , SDM, Fasilitas, manajemen, pembiayaan dan penilaian standar internasional.[6]

Konsepsi dari kurikulum 2013 hakekatnya diadaptasikan dengan tantangan zaman yang berkembang saat ini, karena dengan kurikulum tersebut diharapkan mampu mengantarkan para peserta didik untuk memiliki kecerdasan yang berimbang, yakni cerdas secara intelektual, emosional dan spritual, walaupun tidak bisa kita pungkiri merebaknya kekerasan dalam dunia pendidikan dari berbagai aspek, menjadikan kita semakin prihatin mengenai nasib pendidikan kita kedepan.

Dengan demikian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diterapkan pada tahun 2006, dan penyempurnaan kurikulum yan disebut dengan kurikulum 2013, dua-duanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, namun pada esensinya bahwa dua kurikulum tersebut mengacu pada paradigma pendidikan di era modern, dengan konsep pembelajaran aktif.

Bertemunya Dua Sisi Yang Berbeda


Pendidikan di era tradisional dan pendidikan di era modern, sesungguhnya ini merupakan rentetan dari peristiwa sebelumnya. Lahirnya pendidikan di era modern, hakekatnya tidak terlepas dari proses dan perkembangan dari pendidikan diera tradisional. Maka kemudian perlunya kita perhatikan secara seksama, mengenai peluang, tantangan, konsep, kelemahan dan kekurangan, harusnya tetap menjadi tanggung jawab para pihak.

Konsepsi pendidikan di era tradisional dan pendidikan di era modern, yang memiliki sisi yang sangat berbeda, sehingga terkesan bahwa kedua konsep pendidikan tersebut ada jurang pemisah yang menjadikannya sangat berseberangan.
 
Secara sederhana perbedaan antara pendidikan tradisional dan pendidikan modern, misalnya dalam proses belajar mengajar.
Pendidikan tradisional :
Ø Guru mengajar, murid menyimak
Ø One man show dimana guru menjadi satu-satunya pelaku pendidikan
Ø Tatanan bangku yang berurutan
Ø Masih diberlakukan bentuk hukuman fisik bagi siswa yagn tidak taat.

Pendidikan modern

Ø Guru sebagai fasilitator
Ø Peserta didik juga pelaku pendidikan
Ø Memanfaatkan media pembelajaran
Ø Tidak melakukan hukuman fisik
Ø Tempat pembelajaran bisa dimana saja[7]

Melihat perbedaan yang cukup jauh, konsep dari pendidikan tradisional dan modern, juga sangat berpengaruh terhadap output yang dihasilkan pada akhirnya. Pendidikan tradisional lebih menekankan pada nilai-nilai moral dan tatanan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga lulusan yang dihasilkan lebih mapan dan diterima ditengah-tengah masyarakat. Sementara dalam konstek modernitas, pendidikan cukup memprihatinkan, dimana ketidak seimbangan dalam menerima pengetahuan dan tekhnologi menyebabkan sering terjadinya tawuran antar pelajar, kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum dalam pendidikan itu sendiri, sampai pada bejatnya moral seorang guru.

Dengan demikian, meski satu sisi pendidikan modern dan pendidikan tradisional memiliki konsepsi yang cukup jauh, akan tetapi perlu adanya keseimbangan satu sama lain, pendidikan modern dengan pesatnya pengetahuan dan canggihnya tekhnologi yang memudahkan bagi peserta didik untuk mengaksesnya, menjadikan lemahnya kontrol dalam dunia pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu pendidikan modern ini, harus tetap didampingi dengan konsep pendidikan tradisional yang menekankan pada sikap dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral terhadap peserta didik, sehingga out put yang dihasilkan dari dua konsep tersebut menjadikan peserta didik memiliki kematangan intelektual, sikap, tindakan, dan yang terpenting bisa di terima ditengah-tengah masyarakat untuk terus melakukan perbaikan dalam segala aspek.


Sumber Rujukan
Abdur Rahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LkiS, 2010
Akviansyah, http//songeph.blogspot.com, diakses pada 19 Januari 2015
Anam wong, http//godongkelor.blogspot.com, diakses pada 20 januari 2015
Faisol, Gus Dur dan pendidikan Islam, upaya mengembalikan esensi pendidikan di era global, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2011
Febri Dimas, http//kompasiana.com, diakses pada 19 januari 2015
Samsun Niam, Pendidikan Multi Kultur, Radar Jember, kamis 28 oktober 2010
www.pesantren-ciganjur.org,  Prinsip-Prinsip pendidikan pesantren, di aksen pada 18 Januari 2015


[1] Faisol, Gus Dur dan pendidikan Islam, upaya mengembalikan esensi pendidikan di era global, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2011, hal. 27
[2] Abdur Rahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LkiS, 2010, Hal. 115-116
[3] www.pesantren-ciganjur.org, Prinsip-Prinsip pendidikan pesantren, di aksen pada 18 Januari 2015
[4] Samsun Niam, Pendidikan Multi Kultur, Radar Jember, kamis 28 oktober 2010, hal 39
[5] Febri Dimas, http//kompasiana.com, diakses pada 19 januari 2015
[6] Akviansyah, http//songeph.blogspot.com, diakses pada 19 Januari 2015
[7] Anam wong, http//godongkelor.blogspot.com, diakses pada 20 januari 2015
Comments
0 Comments
Designed By Faisol Akhmad