Sekolah yang diharapkan menjadi lingkungan paling aman dan nyaman untuk belajar justru menghadirkan ancaman. LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW), awal Maret 2015, merilis fakta mencengangkan. 84 % anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Saatnya para orangtua mulai menata ulang cara pandangnya terhadap sekolah. Kembali menilai kebijakan dan model pendidikannya.
Mengkritisi bagaimana guru mendidik siswanya. Mencermati pergaulan sosial di lingkungan sekolah. Semua itu bukan semata-mata untuk menjatuhkan apalagi membuka borok sekolah. Orangtua hendaknya tidak pasrah bongkokan dan sekolah menerimanya begitu saja. Kerja sama yang harmonis namun dilandasi nalar yang kritis akan meminimalisir tindak kekerasan anak di sekolah.
Tidak setiap orangtua peduli dengan sekolah. Merasa sudah membayar mahal sesuai layanan dan fasilitas yang dijanjikan sekolah merupakan alasan klasik yang kerap disampaikan orangtua. Wali siswa adalah konsumen pendidikan. Mengirimkan bahan baku - anak-anak mereka - agar diolah, diproduk, dicetak oleh sekolah.
Pabrik manusia itu bernama sekolah. Pabrik-pabrik itu berlomba memasang platform, memajang visi misi, menawarkan fasilitas dan layanan, melambungkan mimpi masa depan konsumennya. Sebagai penikmat industri persekolahan, orangtua mungkin tidak menyadari, atau sadar tapi menutup mata terhadap filosofi dan makna pendidikan. Apalagi kini tidak sedikit sekolah makin gencar membangun pencitraan. Sekolah yang bertumpu pada pencitraan untuk mengesankan pendidikan berkualitas, ibarat makanan, ia terlalu mengandalkan bumbu penyedap kimiawi. Tidak natural. Enak untuk saat ini. Menabung penyakit untuk masa depan. Setali tiga uang. Kelas sosial menengah ke atas sangat akrab dengan budaya pencitraan.
Mereka memilih sekolah bukan terutama dilandasi pengetahuan dan kesadaran filosofi pendidikan. Sekolah dengan biaya mahal dan terkesan elit menjadi pilihan mereka untuk meneguhkan posisi kelas sosial. Sekolah bergeser dari lingkungan untuk menyemai bibit harkat manusiawi siswa menjadi pabrik yang mencetak produk manusia masa depan. Pabrik-pabrik itu dihidupi oleh mesin-mesin kalkulatif-transaksional dengan pesan moral sudah sewajarnya pendidikan itu mahal. Sekolah elit harus mahal. Sekolah berkualitas jangan sampai berbiaya murah. Padahal tidak sedikit sekolah murah tapi tidak murahan.
Konsumen kelas sosial menengah ke atas mengamini konsumerisme pendidikan itu. Tanpa merasa perlu bernalar kritis dan menghujam ke akar hakekat pendidikan. Diperlukan penelitian dan survei serius untuk mengungkap seberapa luas kecenderungan ini berkembang di masyarakat. Meski demikian, tidakkah kita menangkap fenomenanya dengan mata telanjang? Sekolah tidak lagi menjadi taman siswa. Ia disulap, didesain, dikondisikan semewah mungkin. Pendidikan yang diwakili bentuknya oleh sekolah kerap dianggap kemewahan.
Nuansa struktur kelas sosial hingga hari ini masih mewarnai sikap masyakarat memandang pendidikan. Bukankah hal itu mencerminkan egoisme di kedua belah pihak: egoisme sekolah dan egoisme wali siswa? Egoisme sekolah diindikasikan oleh sikap transaksional dalam melayani pendidikan siswa. Egoisme wali siswa ditandai oleh kesanggupan membayar berapapun dana yang dibutuhkan sekolah.
Dua egoisme bertarung saling menuntut. Lalu dimanakah para siswa berada? Yang pasti siswa berada di bawah tekanan kedua pihak: sekolah dan orangtua. Sekolah menekan siswanya agar mencapai standar minimal nilai pelajaran yang telah ditetapkan guru. Di rumah orangtua memasang standar nilai pelajaran anaknya harus seratus. Bila tidak tercapai anak harus siap diinterogasi dan guru wajib dipertanyakan kompetensi mengajarnya. Di antara pertarungan dua kepentingan ini adakah yang memihak harkat manusiawi siswa? Anak frustasi. Sekolah dan rumah menjelma neraka. Psikologi jiwanya bolong. Ia menutupinya dengan pelampiasan-pelampiasan. Main game. Browsing tanpa arah. Bullying di sekolah. Saling ejek dengan teman. Tawuran. Begini ini pendidikan? Begini ini sekolah?
Penulis : Achmad Saifullah Syahid