Berbicara tentang pendidikan memang
tidak akan pernah habisnya, karena dengan adanya pendidikan sebagai salah satu
wahana untuk menjadikan manusia lebih manusiawi, hal ini tidak lepas dari
proses belajar mengajar dan proses trnsformasi pengetahuan terhadap peserta
didik. Beragam macam pendidikan yang tumbuh dan berkembang, khususnya di
Indonesia yang tetap memegang teguh budaya ketimuran, dan tidak lepas dari
nilai-nilai pancasila sebagai ideologi pemersatu ummat.
Dalam dunia pendidikan, seiring
dengan berjalannya waktu, banyak problem yang muncul, mulai dari
profesionalitas guru, sistem pendidikan yang acapkali tidak mengikuti peraturan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sampai pada sesuatu yang ekstrim
terjadi, seperti kriminalitas dalam dunia pendidikan yang membuat kita cukup
prihatin.
Pentingnya pendidikan berbasis
pluralisme, dalam rangka meningkatkan nilai-nilai toleransi ditengah keanekaragaman
perbedaan untuk menjadikan pendidikan sebagai garda depan terciptanya rasa
toleransi. Nilai-nilai dalam pendidikan pluralitas tidak bisa kita pungkiri
akan menjadi salah satu alternatif terhadap carut marutnya sistem pendidikan di
Indonesia.
Sebelum terlalu jauh membahas
tentang pluralisme pendidikan, perlu diketengahkan pengertian dari pluralisme
itu sendiri. Prularalisme adalah paham tentang pluralitas, yakni kesadaran akan
realitas keberagaman kehidupan masyarakat dalam aspek ekonomi, budaya, sosial,
politik, ideologi, dan agama.[1]
Perbedaan dan keragaman kehidupan
bermasyarakat bukan lantas menjadi permusuhan dan konflik yang tajam, akan
tetapi perbedaan itu akan terasa lebih indah dengan konsepsi saling menjaga dan
menghormati, sesuai dengan keyakinan masing-masing, sehingga penyeragaman
identitas perlu menjadi kajian yang berkelanjutan guna menemukan titik temu
diantara perbedaan-perbedaan yang seringkali mencuat kepermukaan.
Sementara itu pengertian pendidikan
menurut UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia serta memiliki
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Sedangkan menurut Ki Hajar
Dewantara Pendidikan yaitu tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak.[2]
Pluralisme pendidikan, suatu konsep
dasar yang perlu untuk ditanamkan terhadap peserta didik guna mewujudkan rasa toleransi akan adanya
perbedaan dan keberagaman dalam konstek sosial masyarakat. Pluralisme
pendidikan memiliki implikasi yang besar bagi tumbuh kembangnya peserta didik
menjadi manusia yang memiliki akhlag mulia. Dengan kesadaran itulah diharapkan
seluruh potensi setiap peserta didik mampu berkembang sesuai dengan harapan,
minat, dan bakatnya kearah positif. Aktor yang memegang peranan penting dalam
dunia pendidikan, tidak lain adalah guru. Guru sebagai pemegang kendali yang
mampu mengarahkan peserta didiknya menuju manusia sempurna ( Insan Kamil ).
Dengan adanya pluralisme pendidikan, sebagai bentuk usaha sadar untuk melakukan
perbaikan dan menjunjung nilai-nilai perbedaan sebagai sesuatu hal yang saling
melengkapi satu sama lain.
Pendidikan harus ditempatkan pada
garda depan dalam metode konstruksi teologi pluralisme dengan membuat metodologi
yang tepat untuk mendukungnya. Konstruksi pendidikan masalalu yang berbasiskan
penyeragaman identitas budaya bangsa, harus dikaji ulang dan mesti harus
disesuaikan dengan paradigma pendidikan yang berbasis pluralisme bangsa.
Paradigma pendidikan yang tidak berbasis pluralisme dapat terlihat lewat
distorsi yang muncul kepermukaan. Ada banyak hal yang menyebabkan distorsi
tersebut acapkali terjadi, antara lain adalah:
Distorsi pertama : sebagai sebuah
doktrin yang senantiasa dijadikan alat pembenaran bagi terjadinya konflik antar
agama yang tak jarang didekati secara represif. Fonomena ekslusivisme masih
sangat kental mewarnai kurikulum pendidikan agama di sekolah yang dilakukan
melalui “pencucian otak”. Nilai-nilai agamis seperti kebenaran dan perdamaian
tidak diperjuangkan untuk menata pluralitas dengan cara menghormati
perbedaan-perbedaan yang ada. Distorsi kedua: materi pelajaran yang diajarkan
disekolah membenarkan apa yang diyakini benar dan menghakimi apa yang diyakini
salah. Kebenaran yang satu dimutlakkan untuk yang lainnya.[3]
Fenomena
maraknya kekerasan dalam dunia pendidikan menjadi hal yang cukup
memprihatinkan. Adanya kekerasan yang dilakukan oleh oknum pendidik, menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerintah, guru, dan masyarakat, guna meningkatkan
kesadaran akan pentingnya menjunjung nilai-nilai toleransi dalam dunia
pendidikan. Begitu juga dengan adanya partisipasi masyarakat sebagai salah satu
control bagi berjalannya pendidikan, diharapkan mampu menciptakan suasana indah
dalam pendidikan itu sendiri.
Adanya
perbedaan dalam dunia pendidikan menjadi hal yang cukup lumrah, dikarenakan
perbedaan itu menjadi fitroh dalam diri manusia, sebagai penggerak jalannya
pendidikan, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, ideologi, sosial
kemasyarakatan, maupun dalam konstek keagamaan, merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari pendidikan itu sendiri.
Tidak
bisa kita pungkiri, bahwasanya kekerasan yang kerapkali muncul dalam dunia
pendidikan, merupakan cerminan kekerasan dalam sosial kemasyarakatan. Institusi
pendidikan menjadi tercoreng nama baiknya, hanya disebabkan oleh aksi individu
atau kelompok yang seringkali melakukan aksi kriminal. Tawuran antar pelajar,
seks bebas, dan pembunuhan sesama siswa juga menjadi cermin yang cukup
memprihatinkan dalam dunia pendidikan, dan masih cukup banyak persoalan yang
muncul selain hal yang telah disebutkan diatas. Apa sebetulnya yang salah?
Disinilah perlunya untuk mengkaji ulang sistem yang telah diterapkan dalam
dunia pendidikan.
Mengamati
berbagai kekerasan yang terjadi ditanah air, beragam kegundahan pun muncul.
kita bertanya mengapa bangsa ini begitu mudah kehilangan kesantunan, keramahan
dan penghargaan terhadap perbedaan. Mengapa sebagai anak bangsa kita mudah
marah, tersinggung, merusak milik orang lain, membunuh dan membakar? Mengapa
perilaku kekerasan begitu cepat menjadi model dalam menyelesaikan segala
masalah dinegeri ini.
Hal
mendasar dalam hal ini, apakah kekerasan itu merupakan wujud pendangkalan,
sebab tidak ada nilai agama mana pun yang mengajarkan tentang kekerasan, karena
setiap agama mengajarkan hidup damai. Kata “damai” mudah diucapkan, tapi begitu
sulit diterapkan. Oleh sebab itu pembangunan karakter bangsa adalah upaya
cita-cita bersama untuk mewujudkan kemanusiaan dan keadilan sebagai alat
pemersatu kebangsaan. Kondisi kesenjangan ekonomi, faktor kebijakan, peran
dominan mayoritas yang tidak menghargai minoritas, serta pelecehan terhadap
martabat kemanusiaan dan keadilan membuat manusia mudah frustasi. Rasa frustasi
akut tersebut akan membawa bencana bagi negeri ini karena tiadanya harapan akan
masa depan.[4]
Dari
berbagai persoalan yang muncul, perlu ada kajian khusus untuk membuat sisitem
pendidikan yang pluralis, sehingga kesenjangan sosial, ekonomi, dan pendidikan
tidak selalu menjadi hal yang menakutkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pluralisme
pendidikan tidak hanya sekedar menjadi wacana yang mudah untuk diucapkan, namun
lebih jauh dari itu bahwa pluralisme dalam dunia pendidikan harus menjadi
sikap, baik bagi guru sebagai aktor utama dalam pendidikan, maupun terhadap
peserta didik untuk terus meningkatkan kualitas diri dalam konstek percaturan
dunia modern. Pluralisme pendidikan sebagai salah satu alat dan pemahaman
mengenai nilai-nilai toleransi terhadap keanekaragaman budaya, ideologi,
sosial-politik, ekonomi, dan keagamaan, harus menjadi karakter pendidikan kita
saat ini, sehingga perlunya pluralisme pendidikan menjadi salah satu kurikulum,
guna mencetak generasi yang jauh lebih baik dimasa yang akan datang.
Sebagai
ujung tombak dalam dunia pendidikan, guru memiliki peran yang signifikan dalam
proses mengembangkan, mengarahkan, dan memotivasi peserta didik untuk menjadi
manusia yang berguna bagi bangsa dan negara. Disinilah sesungguhnya letak
mendasar dari munculnya persoalan-persoalan yang kerapkali terjadi dalam dunia
pendidikan, sehingga perlu sedini mungkin untuk memberikan pemahaman dan
kesadaran terhadap peserta didik akan pentingnya pluralisme pendidikan sebagai
salah satu upaya meningkatkan nilai-nilai toleransi dalam dunia pendidikan.
Dasar
dari pluralisme pendidikan itu sendiri, tidak lain adalah dalam rangka
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memanusiakan. Konsep dasarnya
adalah humanisme, yakni adanya penghargaan yang cukup tinggi terhadap
nilai-nilai kemanusiaan yang melekat secara inheren dalam diri manusia.
Penghargaan tersebut tercermin dalam tingkah laku manusia yang menghargai
kehidupan orang lain yang memiliki kebebasan berpendapat, berpikir, berkumpul,
dan berkeyakinan atas apa yang diyakini terbaik bagi hidupnya.[5]
Humanisme
itu sendiri merupakan salah satu bentuk dari kerangka pluralitas, sehingga
antara pluralisme dan humanisme memiliki keterkaitan yang erat, karena dua hal
tersebut senyawa tetapi sangat berbeda satu sama lainnya. Nilai-nilai
kemanusiaan merupakan inti dari penghargaan manusia terhadap manusia lainnya,
perbedaan merupakan bentuk akan kekayaan khazanah pemikiran dan tindakan untuk
menjadi contoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kasus
kekerasan atas nama agama, ras, keyakinan, suku, merupakan bentuk tindakan yang
jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, disinilah peran dan fungsi adanya pluralisme
pendidikan, sebagai salah satu solusi alternatif untuk menyelesaikan berbagai
problem dengan cara dialogis.
[1]
http//mukhsinblogspot.com, diakses pada 12 januari 2015
[2]
Hariyanto, http//belajarpsikologi.com, pengertian pendidikan menurut para
ahli, diakses pada 12 Januari 2015
[3]
http//Komisihakkwi.wordpress.com, diakses pada 12 Januari 2015
[4]
Susetyo, Opini, Kekerasan dan Dunia
Pendidikan, sinarharapan.co, diakses pada 12 Januari 2015
[5]
Muhammad Rifai, Gus Dur ( K. H. Abdurrahman Wahid, Biografi Singkat
1940-2009 ), Jogjakarta, Ar Ruzz Media, 2010, hal. 94-95