Home

Tuesday, August 4, 2015

Pluralisme Pendidikan ( Upaya Meningkatkan Nilai-Nilai Toleransi Dalam Dunia Pendidikan)

Berbicara tentang pendidikan memang tidak akan pernah habisnya, karena dengan adanya pendidikan sebagai salah satu wahana untuk menjadikan manusia lebih manusiawi, hal ini tidak lepas dari proses belajar mengajar dan proses trnsformasi pengetahuan terhadap peserta didik. Beragam macam pendidikan yang tumbuh dan berkembang, khususnya di Indonesia yang tetap memegang teguh budaya ketimuran, dan tidak lepas dari nilai-nilai pancasila sebagai ideologi pemersatu ummat.

Dalam dunia pendidikan, seiring dengan berjalannya waktu, banyak problem yang muncul, mulai dari profesionalitas guru, sistem pendidikan yang acapkali tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sampai pada sesuatu yang ekstrim terjadi, seperti kriminalitas dalam dunia pendidikan yang membuat kita cukup prihatin.

Pentingnya pendidikan berbasis pluralisme, dalam rangka meningkatkan nilai-nilai toleransi ditengah keanekaragaman perbedaan untuk menjadikan pendidikan sebagai garda depan terciptanya rasa toleransi. Nilai-nilai dalam pendidikan pluralitas tidak bisa kita pungkiri akan menjadi salah satu alternatif terhadap carut marutnya sistem pendidikan di Indonesia.

Sebelum terlalu jauh membahas tentang pluralisme pendidikan, perlu diketengahkan pengertian dari pluralisme itu sendiri. Prularalisme adalah paham tentang pluralitas, yakni kesadaran akan realitas keberagaman kehidupan masyarakat dalam aspek ekonomi, budaya, sosial, politik, ideologi, dan agama.[1]

Perbedaan dan keragaman kehidupan bermasyarakat bukan lantas menjadi permusuhan dan konflik yang tajam, akan tetapi perbedaan itu akan terasa lebih indah dengan konsepsi saling menjaga dan menghormati, sesuai dengan keyakinan masing-masing, sehingga penyeragaman identitas perlu menjadi kajian yang berkelanjutan guna menemukan titik temu diantara perbedaan-perbedaan yang seringkali mencuat kepermukaan.

Sementara itu pengertian pendidikan menurut UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia serta memiliki keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara Pendidikan yaitu tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak.[2]

Pluralisme pendidikan, suatu konsep dasar yang perlu untuk ditanamkan terhadap peserta didik  guna mewujudkan rasa toleransi akan adanya perbedaan dan keberagaman dalam konstek sosial masyarakat. Pluralisme pendidikan memiliki implikasi yang besar bagi tumbuh kembangnya peserta didik menjadi manusia yang memiliki akhlag mulia. Dengan kesadaran itulah diharapkan seluruh potensi setiap peserta didik mampu berkembang sesuai dengan harapan, minat, dan bakatnya kearah positif. Aktor yang memegang peranan penting dalam dunia pendidikan, tidak lain adalah guru. Guru sebagai pemegang kendali yang mampu mengarahkan peserta didiknya menuju manusia sempurna ( Insan Kamil ). Dengan adanya pluralisme pendidikan, sebagai bentuk usaha sadar untuk melakukan perbaikan dan menjunjung nilai-nilai perbedaan sebagai sesuatu hal yang saling melengkapi satu sama lain.

Pendidikan harus ditempatkan pada garda depan dalam metode konstruksi teologi pluralisme dengan membuat metodologi yang tepat untuk mendukungnya. Konstruksi pendidikan masalalu yang berbasiskan penyeragaman identitas budaya bangsa, harus dikaji ulang dan mesti harus disesuaikan dengan paradigma pendidikan yang berbasis pluralisme bangsa. Paradigma pendidikan yang tidak berbasis pluralisme dapat terlihat lewat distorsi yang muncul kepermukaan. Ada banyak hal yang menyebabkan distorsi tersebut acapkali terjadi, antara lain adalah:

Distorsi pertama : sebagai sebuah doktrin yang senantiasa dijadikan alat pembenaran bagi terjadinya konflik antar agama yang tak jarang didekati secara represif. Fonomena ekslusivisme masih sangat kental mewarnai kurikulum pendidikan agama di sekolah yang dilakukan melalui “pencucian otak”. Nilai-nilai agamis seperti kebenaran dan perdamaian tidak diperjuangkan untuk menata pluralitas dengan cara menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. Distorsi kedua: materi pelajaran yang diajarkan disekolah membenarkan apa yang diyakini benar dan menghakimi apa yang diyakini salah. Kebenaran yang satu dimutlakkan untuk yang lainnya.[3]

Fenomena maraknya kekerasan dalam dunia pendidikan menjadi hal yang cukup memprihatinkan. Adanya kekerasan yang dilakukan oleh oknum pendidik, menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, guru, dan masyarakat, guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjunjung nilai-nilai toleransi dalam dunia pendidikan. Begitu juga dengan adanya partisipasi masyarakat sebagai salah satu control bagi berjalannya pendidikan, diharapkan mampu menciptakan suasana indah dalam pendidikan itu sendiri.

Adanya perbedaan dalam dunia pendidikan menjadi hal yang cukup lumrah, dikarenakan perbedaan itu menjadi fitroh dalam diri manusia, sebagai penggerak jalannya pendidikan, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, ideologi, sosial kemasyarakatan, maupun dalam konstek keagamaan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri.

Tidak bisa kita pungkiri, bahwasanya kekerasan yang kerapkali muncul dalam dunia pendidikan, merupakan cerminan kekerasan dalam sosial kemasyarakatan. Institusi pendidikan menjadi tercoreng nama baiknya, hanya disebabkan oleh aksi individu atau kelompok yang seringkali melakukan aksi kriminal. Tawuran antar pelajar, seks bebas, dan pembunuhan sesama siswa juga menjadi cermin yang cukup memprihatinkan dalam dunia pendidikan, dan masih cukup banyak persoalan yang muncul selain hal yang telah disebutkan diatas. Apa sebetulnya yang salah? Disinilah perlunya untuk mengkaji ulang sistem yang telah diterapkan dalam dunia pendidikan.

Mengamati berbagai kekerasan yang terjadi ditanah air, beragam kegundahan pun muncul. kita bertanya mengapa bangsa ini begitu mudah kehilangan kesantunan, keramahan dan penghargaan terhadap perbedaan. Mengapa sebagai anak bangsa kita mudah marah, tersinggung, merusak milik orang lain, membunuh dan membakar? Mengapa perilaku kekerasan begitu cepat menjadi model dalam menyelesaikan segala masalah dinegeri ini.

Hal mendasar dalam hal ini, apakah kekerasan itu merupakan wujud pendangkalan, sebab tidak ada nilai agama mana pun yang mengajarkan tentang kekerasan, karena setiap agama mengajarkan hidup damai. Kata “damai” mudah diucapkan, tapi begitu sulit diterapkan. Oleh sebab itu pembangunan karakter bangsa adalah upaya cita-cita bersama untuk mewujudkan kemanusiaan dan keadilan sebagai alat pemersatu kebangsaan. Kondisi kesenjangan ekonomi, faktor kebijakan, peran dominan mayoritas yang tidak menghargai minoritas, serta pelecehan terhadap martabat kemanusiaan dan keadilan membuat manusia mudah frustasi. Rasa frustasi akut tersebut akan membawa bencana bagi negeri ini karena tiadanya harapan akan masa depan.[4]

Dari berbagai persoalan yang muncul, perlu ada kajian khusus untuk membuat sisitem pendidikan yang pluralis, sehingga kesenjangan sosial, ekonomi, dan pendidikan tidak selalu menjadi hal yang menakutkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Pluralisme pendidikan tidak hanya sekedar menjadi wacana yang mudah untuk diucapkan, namun lebih jauh dari itu bahwa pluralisme dalam dunia pendidikan harus menjadi sikap, baik bagi guru sebagai aktor utama dalam pendidikan, maupun terhadap peserta didik untuk terus meningkatkan kualitas diri dalam konstek percaturan dunia modern. Pluralisme pendidikan sebagai salah satu alat dan pemahaman mengenai nilai-nilai toleransi terhadap keanekaragaman budaya, ideologi, sosial-politik, ekonomi, dan keagamaan, harus menjadi karakter pendidikan kita saat ini, sehingga perlunya pluralisme pendidikan menjadi salah satu kurikulum, guna mencetak generasi yang jauh lebih baik dimasa yang akan datang.

Sebagai ujung tombak dalam dunia pendidikan, guru memiliki peran yang signifikan dalam proses mengembangkan, mengarahkan, dan memotivasi peserta didik untuk menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara. Disinilah sesungguhnya letak mendasar dari munculnya persoalan-persoalan yang kerapkali terjadi dalam dunia pendidikan, sehingga perlu sedini mungkin untuk memberikan pemahaman dan kesadaran terhadap peserta didik akan pentingnya pluralisme pendidikan sebagai salah satu upaya meningkatkan nilai-nilai toleransi dalam dunia pendidikan.

Dasar dari pluralisme pendidikan itu sendiri, tidak lain adalah dalam rangka membentuk peserta didik menjadi manusia yang memanusiakan. Konsep dasarnya adalah humanisme, yakni adanya penghargaan yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang melekat secara inheren dalam diri manusia. Penghargaan tersebut tercermin dalam tingkah laku manusia yang menghargai kehidupan orang lain yang memiliki kebebasan berpendapat, berpikir, berkumpul, dan berkeyakinan atas apa yang diyakini terbaik bagi hidupnya.[5] 

Humanisme itu sendiri merupakan salah satu bentuk dari kerangka pluralitas, sehingga antara pluralisme dan humanisme memiliki keterkaitan yang erat, karena dua hal tersebut senyawa tetapi sangat berbeda satu sama lainnya. Nilai-nilai kemanusiaan merupakan inti dari penghargaan manusia terhadap manusia lainnya, perbedaan merupakan bentuk akan kekayaan khazanah pemikiran dan tindakan untuk menjadi contoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kasus kekerasan atas nama agama, ras, keyakinan, suku, merupakan bentuk tindakan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, disinilah peran dan fungsi adanya pluralisme pendidikan, sebagai salah satu solusi alternatif untuk menyelesaikan berbagai problem dengan cara dialogis.




[1] http//mukhsinblogspot.com, diakses pada 12 januari 2015
[2] Hariyanto, http//belajarpsikologi.com, pengertian pendidikan menurut para ahli, diakses pada 12 Januari 2015
[3] http//Komisihakkwi.wordpress.com, diakses pada 12 Januari 2015
[4] Susetyo, Opini,  Kekerasan dan Dunia Pendidikan, sinarharapan.co, diakses pada 12 Januari 2015
[5] Muhammad Rifai, Gus Dur ( K. H. Abdurrahman Wahid, Biografi Singkat 1940-2009 ), Jogjakarta, Ar Ruzz Media, 2010, hal. 94-95
Comments
0 Comments
Designed By Faisol Akhmad