
Individu
yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap
mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat
dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, adat istiadat, dan estetika.
Beberapa
ahli menafsirkan pendidikan karakter sebagai berikut :
Pertama Menurut Warsono, pendidikan Karakter adalah perilaku yang tampak
dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam berperilaku.
Kedua menurut Jack Coley pendidikan karakter adalah sikap dan kebiasaan
seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral.
Ketiga menurut Winton, Pendidikan Karakter adalah upaya sadar dan
sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para
siswanya.
Keempat menurut Noll, Pendidikan Karakter dapat didefiniskan secara luas
ataupun sempit. Dalam makna yang luas pendidikan karakter mencakup hampir
seluruhn usaha sekolah, terutama diluar bidang akademis yang bertujuan untuk
membantu siswa tumbuh menjadi seseorang, supaya memiliki karakter yang baik.
Dalam makna yang sempit pendidikan karakter dimaknai sebagai bentuk pelatihan
moral yang merefleksikan nilai-nilai tertentu.
Kelima menurut Qodri, Pendidikan karakter mencakup moralitas, etika, budi
pekerti, sebagai wujud dari perilaku kehidupan manusia, bukan hanya dalam
bentuk tulisan dan ucapan, namun lebih jauh lagi, sebagai bentuk refleksi dari
sebuah tindakan manusia.[1]
Dari
beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, secara esensial
memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Pada hakekatnya pendidikan karakter
adalah upaya sadar dari seorang pendidik untuk membantu para siswa tumbuh dan
berkembang dengan memiliki karakter yang baik, sehingga dengan karakter atau
watak dari peserta didik yang telah diajari akan nilai-nilai ilmu dan agama
menjadikannya tumbuh dan berkembang terarah, sehingga memudahkan bagi peserta
didik nantinya setelah hidup ditengah-tengah masyarakat.
Karakter
dalam diri manusia, sesungguhnya menunjukkan sebagai identitas diri yang
bersifat abstrak. Secara teoritis bahwa karakter itu merupakan sesuatu yang
tidak berbentuk, karena hal itu merupakan tabiat yang melekat pada setiap
individu, akan tetapi karakter itu akan terus bersinggungan dengan realitas
yang memiliki bentuk. Karakter itu sendiri laksana pinang dibelah dua, satu
sisi memiliki kesamaan, namun pada sisi yang lain memiliki perbedaan, disitulah
kemudian ada dua sisi karakter manusia yang perlu dicermati secara seksama,
yakni karakter positif dan karakter negatif.
Karakter
positif dalam diri manusia, misalnya seperti rendah hati, dermawan, bertanggung
jawab, memiliki kepekaan sosial, berbudi luhur, suka menolong, bijaksana,
memiliki prinsip hidup, berwawasan luas, dan mampu mengintegralkan antara
pikiran, hati, dan tindakan. Sedangkan karakter negatif dalam diri manusia, iri
hati, dengki, sombong, suka fitnah, membangga-banggakan diri sendiri, kejam,
tidak suka menolong, pelit, dan tahu sedikit, merasa tahu banyak, dan lain
sebagainya.
Positif
dan negatif merupakan dua hal yang saling berdampingan, sehingga dengan
karakter yang berbeda itulah, dinamika kehidupan terus mengalir. Pendidikan
karakter merupakan unsur yang sangat penting dalam proses belajar mengajar,
dimana guru sebagai ujung tombak dalam regulasi pendidikan, merupakan contoh
bagi peserta didiknya untuk senantiasa selalu memberikan pelajaran tentang
kehidupan ini, baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Tumbuh
dan berkembangnya peserta didik dalam lingkungan yang beragam, mengharuskan
seorang guru, untuk benar-benar memahami karakter anak didik, karena anak didik
tersebut tumbuh dari lingkungan yang mempengaruhinya, baik dalam lingkungan
keluarga sebagai dasar. Lingkungan sosial masyarakat maupun lingkungan sekolah
itu sendiri.
Inilah
yang dikatakan oleh orang Jawa bahwa : Kacang, Mangsa tanggala lanjaran,
yang artinya tidak mungkin seorang anak tidak melakukan apa yang sejak kecil
dicontohkan oleh orang tuanya. Demikian pula mengapa bangsa Inggris mengatakan
: You can take the bou out of the country, but yaou can’t take the country
out of the boy, yang artinya : anak dapat lepas dari daerah
kelahirannya tetapi daerah itu tidak akan dapat lepas dari si anak.[2]
Seiring
dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan pesatnya pengetahuan dan
tekhnologi, orang tau, guru harus hati-hati dalam proses membangun dan
membentuk mental anak didik, karena hal itu akan menentukan arah dari kehidupan
peserta didik dalam kehidupan selanjutnya, sehingga menanamkan nilai yang baik,
sebagai salah satu unsur yang menentukan dalam diri seorang anak, supaya
memliki watak dan tabiat yang sesuai dengan tradisi ketimuran, yakni memegang
teguh akhlaqul karimah.
Oleh
karenanya dapat disadari bahwa pentingnya peranan keluarga sebagai dasar
pembentukan kepribadian anak, sementara pendidikan akan melanjutkan dan mengisi
diri peserta didik dengan transformasi knowledge yang selanjutnya pada proses
perkembangannya akan ditentukan sendiri, sesuai dengan kemampuan, kekuatan dan
kreasi anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya.[3]
Ada
dua dimensi yang harus dibangun dalam diri peserta didik secara terus menerus, pertama
dimensi jasmaniah yang erat hubungannya dengan materialistik dan bersifat
horizontal, yakni hubungan anak didik dengan keluarga, guru, antar sesama anak
didik, lingkungan sosial masyarakat dan lain sebagainya. Kedua dimensi
ruhaniah yang bersifat vertikal, yakni hubungan anak didik dengan Tuhannya yang
kemudian akan membentuk sikap dan nilai rendah hati, suka menolong, dermawan,
dan penuh dengan tanggung jawab.
Pentingnya
keseimbangan dalam diri seorang peserta didik antara kekuatan jasmani dan
ruhani dalam proses membentuk pendidikan anak didik dengan kapasitas karakater
yang dimiliki, sehingga peserta didik akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan
kondisi lingkungan yang melatarbelakanginya.
Dengan
demikian pendidikan karakter adalah upaya sadar dari seorang guru atau tenaga
pendidik untuk membentuk, mengembangkan, mengarahkan peserta didik, sesuai
dengan kapasitas kemampuannya, guna menjadikan seorang peserta didik memiliki
fondasi yang kuat berdasarkan pengetahuan, skill dan membentuk sikap yang utuh
dalam diri peserta didik.
Pada
dasarnya karakter peserta didik seudah terbentuk semenjak ia masih dalam rahim
seorang ibu, dan pembentukan karakter tersebut hakekatnya sudah dipengaruhi
oleh faktor genetik, sehingga watak dari peserta didik tersebut, menurut para
peneliti bahwa 20 % karakter bapaknya, 20 % karakter ibunya, dan 60 % karakter
tersebut dipengaruhi oleh lingkungan yang telah mendidiknya.
Dari
60 % bangunan karakter tersebut, salah satunya adalah pendidikan yang ikut
serta membentuk dan mengembangkannya, sehingga masing-masing keperibadian dari
para peserta didik memiliki ciri khas yang berbeda pula, karena dilatar
belakangi oleh faktor genetik, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan
lingkungan sekolah. Oleh sebab itu seorang guru memiliki peran yang cukup
signifikan dalam rangka menjadikan para peserta didik cerdas secara
intelektual, emosional, dan spritual, sehingga hal tersebut akan menjadi bekal
bagi peserta didik untuk menjalani kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.
Sumber
Rujukan
Agus
Sujanto Dkk, Psikologi Kepribadian, Jakarta, Bumi Aksara, 1999, hal
Maisah,
Manajemen Pendidikan, Ciputat, Gaung Persada Press Group, 2013