Home

Tuesday, August 4, 2015

Pendidikan Karakter Upaya Membangun Karakter Peserta Didik Dalam Hidup Bermasyarakat

Munculnya pendidikan karakter merupakan salah satu tuntutan dalam dunia pendidikan, sehingga adanya pendidikan karakater itu sendiri, merupakan salah satu upaya untuk mengetahui setiap karakter individu yang sangat berbeda satu sama lain.  Karakter menurut Samani dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, adat istiadat, dan estetika.

Beberapa ahli menafsirkan pendidikan karakter sebagai berikut :

Pertama Menurut Warsono, pendidikan Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam berperilaku.

Kedua menurut Jack Coley pendidikan karakter adalah sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral.

Ketiga menurut Winton, Pendidikan Karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya.

Keempat menurut Noll, Pendidikan Karakter dapat didefiniskan secara luas ataupun sempit. Dalam makna yang luas pendidikan karakter mencakup hampir seluruhn usaha sekolah, terutama diluar bidang akademis yang bertujuan untuk membantu siswa tumbuh menjadi seseorang, supaya memiliki karakter yang baik. Dalam makna yang sempit pendidikan karakter dimaknai sebagai bentuk pelatihan moral yang merefleksikan nilai-nilai tertentu.

Kelima menurut Qodri, Pendidikan karakter mencakup moralitas, etika, budi pekerti, sebagai wujud dari perilaku kehidupan manusia, bukan hanya dalam bentuk tulisan dan ucapan, namun lebih jauh lagi, sebagai bentuk refleksi dari sebuah tindakan manusia.[1]

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, secara esensial memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Pada hakekatnya pendidikan karakter adalah upaya sadar dari seorang pendidik untuk membantu para siswa tumbuh dan berkembang dengan memiliki karakter yang baik, sehingga dengan karakter atau watak dari peserta didik yang telah diajari akan nilai-nilai ilmu dan agama menjadikannya tumbuh dan berkembang terarah, sehingga memudahkan bagi peserta didik nantinya setelah hidup ditengah-tengah masyarakat.

Karakter dalam diri manusia, sesungguhnya menunjukkan sebagai identitas diri yang bersifat abstrak. Secara teoritis bahwa karakter itu merupakan sesuatu yang tidak berbentuk, karena hal itu merupakan tabiat yang melekat pada setiap individu, akan tetapi karakter itu akan terus bersinggungan dengan realitas yang memiliki bentuk. Karakter itu sendiri laksana pinang dibelah dua, satu sisi memiliki kesamaan, namun pada sisi yang lain memiliki perbedaan, disitulah kemudian ada dua sisi karakter manusia yang perlu dicermati secara seksama, yakni karakter positif dan karakter negatif.

Karakter positif dalam diri manusia, misalnya seperti rendah hati, dermawan, bertanggung jawab, memiliki kepekaan sosial, berbudi luhur, suka menolong, bijaksana, memiliki prinsip hidup, berwawasan luas, dan mampu mengintegralkan antara pikiran, hati, dan tindakan. Sedangkan karakter negatif dalam diri manusia, iri hati, dengki, sombong, suka fitnah, membangga-banggakan diri sendiri, kejam, tidak suka menolong, pelit, dan tahu sedikit, merasa tahu banyak, dan lain sebagainya.
Positif dan negatif merupakan dua hal yang saling berdampingan, sehingga dengan karakter yang berbeda itulah, dinamika kehidupan terus mengalir. Pendidikan karakter merupakan unsur yang sangat penting dalam proses belajar mengajar, dimana guru sebagai ujung tombak dalam regulasi pendidikan, merupakan contoh bagi peserta didiknya untuk senantiasa selalu memberikan pelajaran tentang kehidupan ini, baik secara vertikal maupun secara horizontal.

Tumbuh dan berkembangnya peserta didik dalam lingkungan yang beragam, mengharuskan seorang guru, untuk benar-benar memahami karakter anak didik, karena anak didik tersebut tumbuh dari lingkungan yang mempengaruhinya, baik dalam lingkungan keluarga sebagai dasar. Lingkungan sosial masyarakat maupun lingkungan sekolah itu sendiri.

Inilah yang dikatakan oleh orang Jawa bahwa : Kacang, Mangsa tanggala lanjaran, yang artinya tidak mungkin seorang anak tidak melakukan apa yang sejak kecil dicontohkan oleh orang tuanya. Demikian pula mengapa bangsa Inggris mengatakan : You can take the bou out of the country, but yaou can’t take the country out of the boy, yang artinya : anak dapat lepas dari daerah kelahirannya tetapi daerah itu tidak akan dapat lepas dari si anak.[2]

Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan pesatnya pengetahuan dan tekhnologi, orang tau, guru harus hati-hati dalam proses membangun dan membentuk mental anak didik, karena hal itu akan menentukan arah dari kehidupan peserta didik dalam kehidupan selanjutnya, sehingga menanamkan nilai yang baik, sebagai salah satu unsur yang menentukan dalam diri seorang anak, supaya memliki watak dan tabiat yang sesuai dengan tradisi ketimuran, yakni memegang teguh akhlaqul karimah.

Oleh karenanya dapat disadari bahwa pentingnya peranan keluarga sebagai dasar pembentukan kepribadian anak, sementara pendidikan akan melanjutkan dan mengisi diri peserta didik dengan transformasi knowledge yang selanjutnya pada proses perkembangannya akan ditentukan sendiri, sesuai dengan kemampuan, kekuatan dan kreasi anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya.[3] 
Ada dua dimensi yang harus dibangun dalam diri peserta didik secara terus menerus, pertama dimensi jasmaniah yang erat hubungannya dengan materialistik dan bersifat horizontal, yakni hubungan anak didik dengan keluarga, guru, antar sesama anak didik, lingkungan sosial masyarakat dan lain sebagainya. Kedua dimensi ruhaniah yang bersifat vertikal, yakni hubungan anak didik dengan Tuhannya yang kemudian akan membentuk sikap dan nilai rendah hati, suka menolong, dermawan, dan penuh dengan tanggung jawab.

Pentingnya keseimbangan dalam diri seorang peserta didik antara kekuatan jasmani dan ruhani dalam proses membentuk pendidikan anak didik dengan kapasitas karakater yang dimiliki, sehingga peserta didik akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan yang melatarbelakanginya.
Dengan demikian pendidikan karakter adalah upaya sadar dari seorang guru atau tenaga pendidik untuk membentuk, mengembangkan, mengarahkan peserta didik, sesuai dengan kapasitas kemampuannya, guna menjadikan seorang peserta didik memiliki fondasi yang kuat berdasarkan pengetahuan, skill dan membentuk sikap yang utuh dalam diri peserta didik.

Pada dasarnya karakter peserta didik seudah terbentuk semenjak ia masih dalam rahim seorang ibu, dan pembentukan karakter tersebut hakekatnya sudah dipengaruhi oleh faktor genetik, sehingga watak dari peserta didik tersebut, menurut para peneliti bahwa 20 % karakter bapaknya, 20 % karakter ibunya, dan 60 % karakter tersebut dipengaruhi oleh lingkungan yang telah mendidiknya.

Dari 60 % bangunan karakter tersebut, salah satunya adalah pendidikan yang ikut serta membentuk dan mengembangkannya, sehingga masing-masing keperibadian dari para peserta didik memiliki ciri khas yang berbeda pula, karena dilatar belakangi oleh faktor genetik, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Oleh sebab itu seorang guru memiliki peran yang cukup signifikan dalam rangka menjadikan para peserta didik cerdas secara intelektual, emosional, dan spritual, sehingga hal tersebut akan menjadi bekal bagi peserta didik untuk menjalani kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Sumber Rujukan

Agus Sujanto Dkk, Psikologi Kepribadian, Jakarta, Bumi Aksara, 1999, hal

Maisah, Manajemen Pendidikan, Ciputat, Gaung Persada Press Group, 2013



[1] Maisah, Manajemen Pendidikan, Ciputat, Gaung Persada Press Group, 2013, hal 35-36

[2] Agus Sujanto Dkk, Psikologi Kepribadian, Jakarta, Bumi Aksara, 1999, hal 9
[3] Ibid, hal 10
Comments
0 Comments
Designed By Faisol Akhmad