Pendidikan
sebagai salah satu tiang untuk membangun sebuah peradaban, seringkali muncul
persoalan yang cukup memprihatinkan, salah satunya seringkali terjadi kekerasan
dalam dunia pendidikan, baik yang dilakukan oleh peserta didik dengan peserta
didik lainnya, guru dengan peserta didiknya, guru dengan kepala sekolah, bahkan
pelaksana pendidikan dengan masyarakat (stakeholder). Apa sebetulnya
yang terjadi? Dan kenapa pula seringkali terjadi kekerasan yang kadangkala
dipicu oleh hal sepele? Dan mengapa kekerasan tersebut terkesan sudah menjadi
kebiasaan? Seyogianya pendidikan dengan konsep humanis, pluralis, multikultur,
dan inklusivisme diharapkan mengantarkan peserta didiknya memilki kecerdasan
yang berimbang, yakni integralisasi pemikiran, hati, dan tindakan, namun hal
itu hanya menjadi wacana teoritis, dan sangat minim dalam bentuk aplikatif.
Tawuran
antar sesama pelajar, bahkan antar sekolah, kekerasan seksual, dan masih banyak
perilaku yang menyimpang lainnya, menjadikan institusi pendidikan itu sendiri
menjadi tercoreng dimata masyarakat, apakah hal itu merupakan dampak dari
modernisasi dan globalisasi atau memang, pendidikan sudah “tidak mampu”
mengarahkan, mengontrol, menggali, mengembangkan potensi peserta didik menjadi
kekuatan dalam ritme persaingan global, sehingga harapan masyarakat akan
terwujudnya suatu perubahan yang positif dalam dunia pendidikan menjadi sumbu
pemikiran yang akan menyala dan bermanfaat dalam lapisan masyarakat.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) dibeberapa daerah di Indonesia
menunjukkan ada sekitar 80% kekerasan terjadi pada siswa yang dilakukan oleh
oknum guru. Belakangan ini diketahui seorang guru yang melakukan kekerasan pada
siswanya, sehingga siswa tersebut harus dirawat di rumah sakit, contoh yang
merebak mengenai kekerasan pada siswanya adalah kasus IPDN, ini tentu sangat
mengejutkan bagi kita. Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat untuk menimba
ilmu pengetahuan dan seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa, namun
ternyata dibeberapa daerah kekerasan tersebut seringkali terjadi dan dilakukan
oleh oknum guru, antar sesama siswa dan lain sebagainya.[1]
Ada
problem mendasar, mengapa kekerasan itu acapkali terjadi dalam dunia pendidika?
Dan kenapa pula kekerasan yang sering dilakukan oleh oknum guru yang berdampak
pada fisik dan psikis siswa itu sendiri, disinilah problem yang harus dicari
akarnya dan bersama-sama untuk dipecahkan, sehingga nantinya akan ada bentuk
solutif sebagai salah satu alternatif untuk meminimalisir kekerasan yang
seringkali terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini. Oleh karena itu
perlunya sistem pendidikan yang komprehensif dan menyentuh afektif siswa maupun
guru, guna membentuk harmonisasi dalam proses belajar mengajar.
Disinilah
seharusnya kekuatan sistem pendidikan bergerak dengan harmonis dengan diimbangi
manajemen sekolah, profesionalitas seorang guru, sarana dan prasarana yang
memadai, serta standarisasi dari suatu lembaga pendidikan menjadi acuan dalam
setiap pembelajaran.
Kekerasan
Dalam Dunia Pendidikan
Sesuatu
yang paling memprihatinkan dalam dunia pendidikan, yakni adalah terjadinya
kekerasan, dimana sekolah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi siswa
untuk menimba pengetahuan. Ketidaknyaman tersebut menjadi budak pembodohan bagi
peserta didik untuk menggali dan mengembangkan postensinya.
Pendidikan
yang seharusnya menjadi tempat yang sejuk, penuh keramahan, dan terciptanya
suasana saling menghargai satu sama lain, justru harus tercoreng oleh ulah
segelintir orang, terlepas apakah itu dilakukan oleh oknum guru, oknum peserta
didik, ataupun kepala sekolah yang
memberi kebijakan yang tidak memihak bagi keberlangsungan suatu pendidikan.
Secara
garis besar ada dua hal kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan, pertama
kekerasan fisik yang mempengaruhi terhadap psikis. Kedua, kekerasan psikis yang
mempengaruhi fisik.
Pertama : kekerasan fisik yang mempengaruhi psikis.
Kekerasan
fisik juga kerapkali terjadi dalam dunia pendidikan, oknum guru acapkali
memakai tangan panjang untuk menyelesaikan persoalan, tidak bisa kita pungkiri
kekerasan fisik yang terjadi terhadap peserta didik sebagai salah satu korban,
bahkan sampai ada yang dilarikan kerumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang
intensif, sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan psikis dari peserta didik.
Kekerasan fisik yang terjadi akan mempengaruhi psikis dari peserta didik,
sehingga peserta didik akan mengalami trauma, dendam, bahkan ada ketakutan yang
luar biasa, akibat kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum guru. Kekerasan
fisik ini memang cukup beragam yang dilakukan oleh para oknum, mulai dari
kekerasan yang sifatnya rendah, sedang, bahkan kekerasan yang cukup parah. Mungkin
saja kekerasan yang sifatnya rendah masih bisa ditolerir dengan catatan tidak
dilakukan secara berualang-ulang.
Terjadinya
kekerasan fisik yang dilakukan oleh para oknum guru, tentu ada problem yang
melatarbelakanginya, apakah peserta didik sangat nakal, susah diatur, bahkan
karena peserta didik tidak memiliki akhlag yang membuat geram dari seorang
guru. Dalam dunia pendidikan memang harus ada yang namanya hukuman, namun
hukuman tersebut harus diimbangi dengan imbalan atau hadiah bagi peserta didik.
Dalam hal hukuman dan hadiah tersebut dalam batas-batas kewajaran, yakni di
sesuaikan dengan kapasitas kesalahan itu sendiri.
Dengan
demikian kekerasan fisik apapun bentuknya akan mempengaruhi psikis dari peserta
didik, sehingga para guru juga harus berhati-hati dalam membimbing dan membina
peserta didiknya, sehingga akan tercipta suasana yang harmonis antara pendidik
dan peserta didik, dan akan tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan
dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Kedua: kekerasan psikis yang mempengaruhi fisik
Menjaga
dan membina psikis dari peserta didik sangatlah penting adanya. Psikologi
menjadi disiplin keilmuan dan menjadi kajian yang terus menerus dilakukan oleh
para ilmuan, tentu tidak lepas dari suatu pengamatan akan perilaku manusia. Dalam
dunia pendidikan khususnya, psikis dari peserta didik juga sangat beragam,
dikarenakan dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi keluarganya, maka tidak
heran kalau kemudian bahwa pendidikan yang mendasar bagi seorang anak adalah
pendidikan dalam keluarga itu sendiri, sementara lembaga pendidikan hanya
melanjutkan untuk menggali dan mengembangkan potensi peserta didik yang secara
lahiriah sudah ada dalam diri masing-masing peserta didik itu sendiri.
Ada
banyak hal kekerasan psikis yang dilakukan oleh para oknum, dan yang paling
tidak manusiawi, adalah pelecehan seksual yang merupakan kekerasan bersifat
tidak bermoral atau biadab, kekerasan dalam bentuk seksual ini merupakan bentuk
kekerasan psikis yang sangat mempengaruhi kehidupan peserta didik dimasa yang
akan datang. Disinilah bentuk peristiwa yang tersimpan dalam memori peserta
didik akan terjadinya kekerasan fisik, sekaligus kekerasan psikis yang
pengaruhnya akan manjadi catatan sepanjang hidup.
Kekerasan
seperti yang digambarkan diatas, satu sisi mencoreng nama baik institusi
pendidikan, sementara pada sisi yang lain terjadi pembunuhan masa depan
cemerlang dari peserta didik itu sendiri. Oleh karena itu seluruh komponen baik
itu pemerintah, guru sebagai pelaksana roda pendidikan, dan masyarakat ikut
berpartisipasi dalam proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Karena
peserta didik merupakan aset bangsa yang paling berharga. Maju atau mudurnya
suatu negara tidak terlepas dari peran dan fungsi, serta mutu dari pendidikan
itu sendiri.
Dengan
demikian perlunya mengantisipasi sedini mungkin bentuk-bentuk kekerasan yang
dilakukan oleh para oknum, karena terciptanya zona nyaman dan aman menjadi
catatan dalam sejarah pendidikan, sebab pendidikan itu sendiri menjadi pusat
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, sebagai upaya sadar oleh semua
pihak, dalam rangka mengantarkan peserta didik menjadi insan yang toleran,
inklusif, berwawasan luas, berakhlak mulia, sekaligus menjadi kebanggaan
masyarakat dimasa yang akan datang.
Menelsisik
Sebab dan Akibat kekerasan Dalam Dunia Pendidikan
Ada
banyak faktor terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan, dimana guru sebagai
aktor utama, haruslah mengamati dengan cermat dan seksama, adanya
indikator-indikator yang mengarah terhadap kekerasan itu sendiri.
Berdasarkan
analisis hasil konsultasi anak terhadap kekerasan tingkat nasional yang
dilakukan tahun 2005 secara garis besar terdapat beberapa faktor terjadinya
kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik. Ada empat faktor
penyebab terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan. Pertama faktor
dalam diri peserta didik, kedua faktor dalam diri seorang guru, ketiga
faktor sistem pendidikan, dan keempat faktor sosio-kultural dalam
masyarakat.[2]
Pertama faktor dalam diri peserta didik, kekerasan yang terjadi terhadap
peserta didik, memang karena ulah dari peserta didik itu sendiri. Memang ada
banyak peserta didik yang tidak mengikuti mata pelajaran, suka menggganggu
dalam proses pembelajaran, tidak disiplin, tidak memiliki akhlag dan lain
sebagainya. Disinilah kerapkali terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh guru,
dengan tujuan supaya peserta didik sesuai dengan harapan guru. Ulah dari
peserta didik ini memang kerapkali membuat jengkel dari seorang guru, sehingga
guru yang pemikirannya “cukup kasar” cara penyelesaiannya dengan cara
kekerasan, sehingga hal tersebut memiliki tingkat resiko tersendiri, terlepas
apakah itu akan membuat peserta didik semakin menjadi manut atau justru
sebaliknya.
Seorang
guru sangat perlu memahami situasi dan kondisi kepribadian peserta didik secara
menyeluruh, yang memungkinkan akan menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan
yang harus dipecahkan oleh seorang guru, mengapa ketidakdisiplinan, kenakalan,
suka mengganggu, tidak pernah mengerjakan PR, dan seterusnya itu tentu menjadi pekerjaan
seorang guru untuk segera mengatasinya.
Kedua dalam diri seorang guru, ini sangat penting, mengingat guru
sebagai pemimpin (leader), sebagai pendidik, pembimbing, dan salah satu
penggerak dari sistem pendidikan itu sendiri. Penyebab terjadinya kekerasan
yang dilakukan oleh seorang guru, karena memang ada faktor dari dalam diri
seorang guru, dimana sistem pendidikan kadangkala memaksakan guru yang tidak
memiliki “kapasitas” sebagai seorang guru, justru dipaksakan untuk mengajar,
disamping itu pula wawasan keilmuan yang tidak memadai, justru akan mengundang
ketidakpuasan dari peserta didik dalam proses belajar mengajar. Ada banyak guru
yang masih gaptek, cara mengajar yang tidak mengikuti perkembangan zaman,
kolot, dan memakai sistem lama, yang tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Ketiga
faktor sistem pendidikan, sebagai pelaksana sistem itu sendiri,
guru dituntut untuk memahami dan kritis terhadap pemberlakuan sistem
pendidikan, secara garis besar sistem tersebut memang diatur oleh pemerintah
dalam UU No 20 tahun 2003 telah dijabarkan dalam peraturan pemerintah No 19
tahun 2005, yang disebut dengan Standart Nasional Pendidikan (SNP) yang
bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara pada sisi yang lain
adanya otonomi daerah, dan otonomi pendidikan, diharapkan sistem pendidikan
bukan lagi bersifat sentralistik, sebab saat ini sistem pendidikan sudah
merambah menjadi desentralistik, dimana setiap lembaga pendidikan mampu
mengembangkan sistem tersebut sesuai dengan kebutuhkan sekolah dan steakholder
itu sendiri.
Keempat faktor sosio-kultural dalam masyarakat, dalam hal ini bangsa
Inggris mengatakan : You can take the boy out of the country, but you can’t
take the country out of the boy, yang artinya, anak dapat lepas dari daerah
kelahirannya, tetapi daerah itu tidak akan lepas dari si anak. Pengaruh
sosio-kultur yang melaterbelakangi tumbuh dan berkembangnya si anak tidak akan
pernah lepas dari daerah yang telah membesarkannya, disinilah pentingnya
peranan keluarga sebagai dasar pola pembentukan kepribadian anak, sedangkan
lembaga pendidikan yang lain, tinggallah memberikan isinya saja, untuk
selanjutnya akan ditentukan sendiri bentuk dan warnanya oleh si anak, sesuai
dengan kemampuan, kekuatan, dan kreasi si anak itu dalam pertumbuhan dan
perkembangan selanjutnya.[3]
Latar
belakang sosio-kultural, merupakan dasar dari perkembangan kepribadian anak
didik, karena sosio-kultur itu akan selalu berkaitan dengan letak geografis
dimana anak tumbuh dan dibesarkan. Secara umum ada banyak kesamaan karakter
yang kemudian menjadi pembahasan mengenai typologi, yakni bentuk dan kesamaan
karakter, tetapi dalam setiap diri anak ada ciri khas yang membedakan dari satu
anak dengan yang lainnya, hal ini masuk dalam kajian psikologi.
Oleh
sebab itu faktor kekerasan tersebut muncul dari sosio-kultur dalam suatu masyarakat
yang berdampak pada pola berpikir dari pendidik maupun dari peserta didik,
sehingga hal tersebut di bawa keranah pendidikan, dan yang cukup memprihatinkan
masyarakat sekitar justru mengamini, karena kekerasan itu merupakan bagian dari
proses pembelajaran.
Dari
beberapa faktor sebab terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan memiliki
dampak yang cukup signifikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak didik.
Dampak tersebut menjadikan anak didik suka diam dan penyendiri, trauma, minder,
dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang sehingga tidak
konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus yang parah dapat
mengakibatkan bunuh diri.[4]
Oleh
karena itu terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan perlu untuk diantisipasi sedini mungkin, karena kekerasan dalam bentuk apapun
tidaklah dibenarkan, karena dampaknya cukup besar bagi perkembangan psikis
anak.
Sumber
Rujukan
Agus Sujanto Dkk, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Bumi
Aksara, 1999
Desi Tri Handayani, kekerasan dalam dunia pendidikan,
http//desitrihandayani.wordpress.com, di
akses pada 22 januari 2015
Uus, Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan guru terhadap
peserta didik di sekolah, http//psikologmalang.com, di akses pada 22
januari 2015
[2] Uus, Faktor-faktor
penyebab terjadinya kekerasan guru terhadap peserta didik di sekolah,
http//psikologmalang.com, di akses pada 22 januari 2015
[3] Agus Sujanto
Dkk, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, Hal, 9-10
[4] http//desitrihandayani.wordpress.com,
kekerasan dalam dunia pendidikan, di akses pada 22 januari 2015